Narasumber :
Anang Gunawan (Ketua Komunitas adat terpencil)
MITOS TARAWANGSA (JENTRENG)
Daerah
Rancakalong merupakan daerah yang jauh dari kota Kabupaten, kira-kira 15
kilometer, namun karena keunikan seni tarawangsa/jentreng inilah menjadikan
Rancakalong buah bibir yang sangat menggugah para ilmuan serta seniman-seniman
baik masyarakat lokal (Indonesia) maupun pengamat luar negeri. Keunikan budaya
ini antara lain adalah kegiatan Ngalaksa, Mubur Suro, Mapag Ibu dan sebagainya.
Dalam
hal ini ketua adat sebagai narasumber memaparkan secara singkat asal usul
terjadinya budaya tarawangsa yang setiap tanggal 9-10 muharram senantiasa
diperingati.
Daerah
Rancakalong semasa pemerintahan Kerajaan Mataram kira-kira abad 15 atau 16
pernah tertimpa malapetaka kehilangan bibit padi atau Dewi sri. Karena pada
waktu itu banyak yang gagal panen dan anehnya padi yang berhasil tumbuh akan
tetapi tidak berisi (hapa), kejadian ini menurut para tokoh terdahulu bahwa
masyarakat tani sudah melupakan tata tertib memuliakan padi (Dewi Sri).
Masyarakat gelisah dan panik menghadapi masalah ini. Namun karna inisiatif para
pemuka masyarakat seperti Embah Wisanagara, Embah Jatikusuma, Embah Raksagama,
Embah Wirasuta melihat kondisi masyarakat yang banyak mengalami kelaparan serta
banyak korban berjatuhan karena kelaparan, kemudian mereka mulai bermusyawarah
untuk menemukan pemecahan masalah. Munculah sebuah ide untuk menentukan
keberangkatan mencari bibit padi. Dikarnakan mereka mendengar bahwa Kerajaan
Mataram memiliki bibit padi yang banyak, kemudian mereka mulai berangkat
disertai utusan dari Sumedang yaitu Nyi Sumedang entah berapa lamanya mereka
menempuh perjalanan yang sangat jauh itu.
Sampai
di sana mereka mendapatkan kendala yang sangat sulit dipecahkan, sebab bibit
padi dijaga sangat ketat oleh Kerajaan Mataramdan tidak diperkenankan bibit itu
keluar dari lingkup Kerajaan. Namun, dengan telaten Embah Embah Jatikusuma
membuat alat seni yang dinamakan Tarawangsa. Kemudian mereka berlima mulai
mementaskan kelihaiannya kesetiap warga di Kerajaan Mataram. Sebuah pertanyaan
terlimpah dari masyarakat “seni yang dimainkan itu namanya apa?” dijawablah
oleh salah satu dari kelima orang tersebut bahwa sini ini semata-mata untuk
memuliakan Dewi Sri (padi), lama-kelamaan terdengar oleh Raja Mataram kemudian
mereka berlima diperintahkan untuk mementaskannya sebagai imbalan mereka diberikan
semua kebutuhan termasuk di dalamya bibit padi.
Keterampilan
membuahkan keuntungan mereka dapat memasukan bibit padi ke dalam lubang kecapi
dan tarawangsa. Pertunjukan pun selesai, akhirnya mereka meminta ijin untuk
pulang, karena mereka membuat Raja terhibur, petugas kerajaan pun diutus beliau
untuk mengantarkan mereka. Mereka berlima pulang tanpa hambatan apapun
melintasi daerah Demak, Kudus, Solo, Cirebon. Namun sayangnya ketika mereka
melewati Solo Nyai Sumedang meninggal. Hingga saat ini makam beliau ada di
Solo. Selanjutnya keempat orang tersebut melanjutkan perjalanan sampai
Rancakalong. Masyarakat pun menyambut hangat mereka berempat dengan meriah atas
keberhasilan itulah diperingatilah seni tarawangsa seperti kegiatan Ngalaksa,
Mubur Suro, Mapag Ibu dan sebagainya semata-mata untuk penghormatan terhadap
Dewi Sri (padi).
ISTILAH-ISTILAH SENI TARAWANGSA
Upacara Adat
1.
Ngalungsurkeun
2.
Netes
3.
Nema Paibuan
4.
Hiburan Ibu-ibu dan Hiburan
laki-laki
5.
Pohaci (Icikibung)
6.
Nginep
7.
Tutu/doa
Pelaksanaan Upacara
1.
Penabuh dua orang yaitu kecapi
dan tarawangsa
Pelaku:
Satu orang orang laki-laki (saehu) satu orang perempuan (saehu) dan empat orang
pembantu wanita.
Diawali
oleh ke 5 yang menjadi sejarah pembawa padi diantaranya
Wisa
nagara : Juru bahasa
Jati
Kusuma : Membuat jentreng
Raksa
gama dan Wirasuta : Pemain tarawangsa
Nyai
Sumedang : Penari, dalam
menari disunahi berjabatan tangan dengan tujuan silahturahmi lambing saling
menghormati.
Alat
musik
Tarawangsa
artinya laras salendro
Kacapi
artinya menunjukan 7 senar
Rebab
artinya menandakan Wali Songo
2.
Lagu-lagu
Saur,
Pamapag, Pangampungan, Pangameut, Limbangan, Angin-angin, Jemplang, Sirnagalih,
Keupat Eundang, Pangairan, Koromong, Dengdo, Reundeu, Bangun, Mataraman,
Degung.
3.
Kelengkapan
ü Totopong
Hideung
ü Takwa
Hideung
ü Samping
Perangantakusumah (kebat) artinya maksud dan tujuan harus tercapai
ü Keris
Pustaka artinya symbol laki-laki yang menunjukan mistik dan kepercayaan.
ü Empat
selendang putih, merah, hijau, dan kuning artinya kerembong
ü Renda
ü Sisir
artinya rapih
ü Kaca
ü Gelang
artinya hati yang bulat
ü Dua
mata Uang logam diantaranya geulis (pare), kasep (artos)
ü Pitung
(di dalamnya padi) artinya apabila patung perempuan itu adalah Dewi Sri,
sedangkan laki-laki adalah uang. Lambang itu symbol bahwa taraf hidup
masyarakat dulu dan sekarang.
ü Tungku
artinya keselamatan
ü Sasajen.
Di antaranya:
·
Dua bakakak (bakar ayam) artinya
hati yang bebas tidak tertutup
·
Panggar bakar ikan mas artinya
kesemangatan
·
Puncak manik (dijauhkan dari hati
yang hitam)
·
Nasi liwet
·
Kendi + air + hihid artinya untuk menenangkan diri
·
Hanjuang artinya subur
pertaniannya
·
Satu pinggiran beras putih dan
telur ayam mentah
·
Satu nyiru makanan, seperti :
Bubur bereum bodas
(bendera alam siang dan malam), kupat (menyatu/bersatu satu ikatan),dupi (bintang
penerang), tangtang angina, opak, wajit, angling, lontong, bugis (manis dalam
persatuan), congcot (satu wadah akan damai bersih), buahbuahan rupa-rupa (keanekaragaman tapi
tetap satu), rurujakan (rujak cau, kalapa, asam, cuing, cikopi, hanjuang, hihid,
satu baki rupa-rupa kembang, minyak kalapa, menyan, satu pinggan air dan satu
pinggan besar pakai tektek untuk tetes dan pohaci), pasir biru, Semuanya disimpan di atas kain putih.
WAWARANGSA
(PANTRANGAN-PANTRANGAN)
Bagi
perempuan yang datang bulan (haid) tidak boleh menari, karena ngibing merupakan
perbuatan yang suci.
SEKILAS
PENGETAHUAN
ADAT
TRADISIONAL NGALAKSA
Kegiatan
adat tradisional ngalaksa merupakan sebuah budaya yang tidak ada di darah lain.
Cara
kegiatan ngalaksa berupa makanan yang bahannya dari tepung beras, melalui
beberapa tahap, tahap pertama pemberitahuan (berawa), tahap kedua pengumpulan
bahan berupa padi, tahap ketiga pembagian bahan seperti :bahan laksa, untuk
makan, untuk belanja dan cadangan. Tahap keempat penumbukan secara kasar, tahap
kelima mencuci beras, tahap keenam menyimpan beras hasil dicuci dipejemuhan
selama tiga hari tiga malam, bila telah jadi baru tumbuk lagi dijadikan tepung,
selanjutnya diolah menjadi laksa. Setelah menjadi laksa dibagikan oleh rurukan
kesemua yang hadir dan yang ikut andil bahan kemudian diadakan penutupan.
Buku
Taunan
Buku
taunan yang dikenal di masyarakat Rancakalong adalah melaksanakan upacara rasa
syukur kepada Alloh dan mementaskan seni Tarawangsa/Jentreng penghormatan Dewi
Sri selesai panen. Hal ini menggambarkan kegembiraan masyarakat petani (Rumpak
Jarami Ampih Pare).
Mapag
Ibu
Istilah
mapag Ibu adalah menjemput padi bila telah selesai pemeliharaan, penjemuran
untuk disimpan kedalam gudang (leiut), acara dalam penjemputan dengan masyarakat
yang diundang, Rengkok dan Dogdog, Beluk, Sampiran, Umbul-umbul dan sebagainya.
Di rumah disediakan rombongan seni Tarawangsa (Jentreng).
SIMBOL-SIMBOL YANG DIKEMUKAKAN
OLEH WARGA SEKITAR
Narasumber : Tarsa 59 tahun
Menurut
beliau menuturkan :
Bubur
bereum artinya getih dan amarah
Bubur
bodas artinya getih mutainah
Ngalaksa
diantaranya beras kemudian jadi tepung lalu dibuat laksa
Hanjuang
artinya rumangiang (jangan monoton atau harus kreatif)
Padi
artinya makanan untuk keselamatan (Qudratulloh) alamdunia
Kupat
artinya kelamin laki-laki
Lepet
artinya kelamin perempuan
Rujak cau
artinya ibu yang mengandung
Rujak
kelapa artinya bapak yang ngayuga
Rujak
asam artinya Ka nya Sri Dang dayang trisnawati
Kapangradinan
tarawangsa artinya dipersembahkan ke Syekh Abdul Qodir Jaelani
Narasumber : Yayat 45 tahun
Pertanyaan
: Apakah bapak mengenal seni Tarawangsa ini apa?
Dapatkah bapak paparkan seni
tarawangsa itu seperti apa?
Jawab:
Menurut
saya, lebih ke unsur magis yang memang ada atau terasa. Tapi menurut saya
kembali ke orang tersebut. Disini saya sering berpikir bahwa antara budaya dan
agama jelas berbeda-beda. Namun, yang membedakan adalah kelogisan berfikir
manusia atau masyarakat Dusun Cijere, Rancakalong. Bersamaan dengan sasakala 17
Rancakalong bersamaan dengan Tarawangsa. Rurukan di sini dikenal dengan sebutan
turun-temuru. Jadidi Ranckalong ini terdapat dua perayaan seni Tarawangsa yaitu
Komunitas adat terpencil dan rurukan (turun-temurun).
Narabumber : Ningsih 50 tahun
dan Rukmaningsih 46 tahun
Pertanyaan:
Apakah
Ibu-ibu ini dapat memaparkan terkait pengetahuan tentang Bubur Suro?
Jawab:
Saya
mengenal karena kebetulan saya tingggal di sini sudah lama. Ade-ade bisa lihat
di sana terdapat katel-katel yang disediakan untuk bubur suro, itu jumlahnya 7
katel cikal sampai bungsu. Setahu ibu kenapa hanya 7 katel dengan bahan 1000
rupa hasil bumi, dikarnakan sasakala
lutung kasarung. Bahan-bahan untuk bubur suro ini harus 1000 rupa dari hasil
bumi tidak boleh beli di pasaran.
Persiapan
acara ini 4 hari untuk mesel kemudian ke guah kan.
Mantra-mantra
kebetulan kami tidak tahu, dikarnakan yang mengetahui mantra-mantra acara ini
adalah hanya Pak Ustad, dan ketua adat saja.
Dalam
Bubur Suro terdapat ketentuan-ketentuan seperti, meski menggunakan gebog pisang
sebagai tungku (nyimas pohaci bungkuk nyiimas). Cara menebangnya juga tidak
sembarangan harus oleh orang yang bisa, seperti Pak Ustad atau ketua adat
karena harus dibacakan mantra-mantra.
Ketentuan
lain adalah penjaga goah meski orang yang dipercaya disebut Canoli yang lihai
membuat rujak-rujakan dan menata bahan-bahan bubur suro ketika upacara adat
akan dimulai.
Masyarakat
setempat yang ikut andil dalam acara ini, meski memberikan sumbangan seperti :
2 liter beras, uang Rp.10.000,-, gula pasir 2 kg, kayu bakar seikat (bakul),
dan kelapa 2. Itu untuk perorang.
Ketika
upacara bubur suro ini dilaksanakan ada pantrangan-pantrangan yang harus di
taati, yaitu: kata daun tidak boleh diucapakan, terdapat istilah lain yaitu
sinjang. Semat yang digunakan untuk menusuk sinjang harus diucapkan dengan
istilah biting. Hawu tang dikenal oleh kita harus diucapkan tungku atau nyimas
pohaci bungkuk nyiimas
MANTRA-MANTRA
Nara Sumber: Suminta 63 tahun
Mantra Nitipkeun
A’udzubillahiminassyaitonnirrojiim,
bismillahirrohmannirrohiim
Kaula nitipkeun pepelakan
tatanduran awaking bagusna, langgeng kabumi ka langit, kanu nyiptakeun dewi
sri, agengna kakanjeng Nabi Sulaeman As, kanu ngatik kanu nyai hurip ku penting
waras ku berang, laaillahaillallohu Muhammaddarosululloh Saw.
Mantra Ngawen
Bismillahirrohmannirrohiim. Pohaci
Nagiri aran pupuhan, pohaci raraga aran pojok cubu pohaci indar maya pohaci
selang sasih mangkanari pohaci aran pojok kaler, kumpul aci sari kawasa gai
rehna dina dinten enjing bade dipapag anu sareng pama. laaillahaillallohu
Muhammaddarosululloh Saw. Narunan dibuat
Asyhaduallaaillaahaillollohu
Waasyhaduanna muhammadarrasululloh,
Bismillahirrohmannirroohiim.
Curmancur cahaya terusing rasa ieu ngahaturkeun sangu putih sakuleupan ka
nyimas utun ini ratmai ratmanah si abdi sang sadayati takkan sangsadarasa
malaikat sang kemesola panghaturkeun pangabaktos kakanjeung Gusti yang agung
sangke-sangkena sangkliti putih sang karacakan jati tunggal.
Mantra Nyepeng Padi
Pada maya lengang, pohaci maya
herang, pada maya garing ulah geger ulah rewasdongkap anu ngala cunuk anu
mupuhun nya maneh sarana tunggal.
Syahadat Sri
Ashadu inni syahadat ari pertanda
ingdillatulloh gedong cahaya ku ing dzatulloh gumilang tanpa kadaton.
Mantra Doa Sri
Allohumma sri ayana nu asih
sabanyu milik nu megang purba herang buah kholdi ka ci Alloh sundana pamegang
sri sunnahna salamet umat Muhammad pare beureum pare hideung pare putih anu
ngajadikeun cahaya ning manusia rep ngarasa gumilang cahya ning alloh. laaillahaillallohu
Muhammaddarosululloh Saw.
Mantra Ijab Qobul
Bismillahirrohmannirroohiim.
Assalammualaikum Wr.Wb. Asyhaduallaaillaahaillollohu Waasyhaduanna
muhammadarrasululloh,
Abdi Amit kanu kagungan imah ieu,
nu kacurung kuwangunan, katincak ku tatapakan, ka sang ratu waruga bumi, ka
sang ratu waruga jaga, ka sang ratu waruga eleder buder. Dewata maring mangsa,
maring dewata. Teu wana teu wani teu wawuh bisi kakoer, katoker,kagandengan,
katektekan.
Mantra Ngibing/menari
Kawetan ka rama anu kawasa, ka
kulon ka ibu anu pasti, ka kidul ka aki nu sakti, ka kaler ka nini nu sakti
(Pengambilan data oleh mahasiswa UNINUS 24-11-2012)