Fellowequality

FellowEquality.com

Selasa, 06 Maret 2012

PEMBELAJARAN MENULIS


RUANG  KREATIF
DALAM PEMBELAJARAN BAHASA
Dadang S. Anshori
Luas ruang yang diberikan para guru kepada para siswa dalam hakikat pengajaran dan pembelajaran bahasa serta kemampuan guru dalam melakukan model, pendekatan, metode, dan strategi. Harus menggunakan seluruh perangkat pengajaran sebagai “senjata” di dalam kelas. Guru harus memenangkan “perang” di ruang kelas sehingga mampu memberdayakan seluruh potensi bahasa siswa dan menggerakan semua sumber kreatifitas berbahasa para keluhan seputar pengajaran bahasa Indonesia yang dipandang kurang menarik,monoton, membosankan, kurang bermanfaat hingga dianggap mudah karena kesehariannya masyarakat kita bahasa Indonesia dapat ditelusuri dengan menjadikan model, pendekatan, metode dan strategi sebagai titik tolak tentu saja bahasa Indonesia yang hanya mengandalkan lembaran kerja siswa, tugas yang tanpa arahan, ceramah yang terus-menerus, atau pengajaran minus media dari sudut pandang manapun bukan strategi atau teknik yang dapat menarik perhatian siswa. Sebut saja ketidakmampuan siswa para siswa menuangkan gagasan dalam bentuk tulisan dipasok oleh lemahnya guru dalam memandu dan menyajikan pengajaran menulis secara menarik. Padahal perhatikan kecenderungan masa kini yang menempatkan kegiatan menulis secara menarik. Padahal perhatikan kecenderungan masa kini yang menempatkan kegiatan menulis sebagai bagian dari superbrand yang harus dimiliki generasi muda yang hendak sukses di masa mendatang.
            Putu wijaya menjelaskan kondisi pengajaran sastra di sekolah, pengajaran bahasa pun tidak ubahnya semacam rumah sangat sederhana yang cocok untuk etalase laporan administrative, bahwa sudah dilaksanakan pembangunan. Namun kalau ditanyakan kepada para penghuninya, tak seorang pun yang dapat hidup tenang di dalam penjara yang mirip kotak-kotak burung dara itu. Berbeda dengan rumah-rumah liar yang tak terencana di tepi sungai atau sepanjang rel kereta api di stasiun walau bentuknya tidak karuan, tetapi rumah-rumah itu benar-benar menjadi sarang bagi penghuninya. Bentuk dan keindahannya tak direncanakan, tetapi tercipta berdasarkan kebutuhan penghuninya, sehingga cocok dan akran (putu wijaya, 2007).
            Harus dilakukan penelitian yang kompherensif untuk mengatakan pengajaran bahasa sebagai semacam “etalase administrasi” bagi sebuah kreativitas yang besar. Namun, mari kita lihat, fenomena berbahasa manakah yang menjadi bukti bahwa pengajaran bahasa Indonesia sudah berhasil, baik secara kuantitas maupun kualitas. Fakta justru menunjukan bahwa nilai UN secara nasional rendah, belum lagi tanda-tanda yang sifatnya kualitatif: kemampuan menulis, kemampuan membaca, kemampuan berbicara dan kemampuan menyimak yang juga masih memprihatinkan. Bagaimana mungkin sebuah kegiatan mengajar yang diukur secara nasional, berjalan tanpa kritik. Dan ini tentu terjadi bukan hanya untuk mata pelajaran bahasa Indonesia, tetapi mata pelajaran lain yang fenomena kegagalannya nyaris sama. Bukankah diskusi kita tentang semua fenomena kebehasaan dan pengajaran bahasa akan berimplikasi pada kesadaran kita terus menerus menata pengajaran bahasa Indonesia di sekolah dalam kolidor yang benar?
            Pengajaran bahasa dilakukan dalam rangka melahirkan pembelajar-pembelajar yang memahami bagaimana tugas belajar sehingga mereka secara mandiri dapat belajar secara baik. Namun demikian, menurut Harmer (1998) membelajarkan siswa bukan pekerjaan yang mudah, banyak kesulitan yang ditemui pembelajar, baik dipengaruhi faktor bagaimana pengalaman belajar para siswa, bagaimana keberadaan mereka di ruang kelas, bagaiman variasi metode yang digunakan untuk menangani siswa yang berbeda, masing-masing siswa memiliki keunikan dalam proses pembelajaran. Faktanya dalam kelas klasikal guru tidak pernah mengidentifikasi kesiapan siswa (entery behavioring) dan siswa memilik tipe belajar yang berbeda (auditorial, visual, kinestesik ). Untuk membedakan siswa yang baik atau tidak dapat dilihat pada bagaimana siswa mengerjakan tugas sekolah, lebih utama, yakni membangun pribadi pembelajaran yang memahami bagaimana dia harus belajar. Pembelajaran bahasa Indonesia yang baik akan memetakan seluruh potensinya agar ia sukses belajar. Harmer (1998: 9) mengatakan bahwa pembelajaran yang baik adalah “the underlying philosophy behind self-access centres ia that student who are prepared to take such responsibility for their own learning (by studying in their own time, doing homework, thinking carefully about what would be best for them) are good learners. Good leaners, in other words, don’t just wait to be taught.” Pribadi yang bertanggung jawab terhadap perencanaan belajar dan tidak menunggu guru mengajar (tidak hanya menerima pengatahuan dari guru) hanya akan terbentuk apabila ada proses dan dorongan dari guru. Oleh karena itu Harmer (1998: 8) menyebutkan bahwa tugas guru bahasa Indonesia adalah “one of the main tasks for teacher is provoke interest and involment in the subjeck even when student are not initially interested in it. It is by their choice of topic, activity and linguistic content that they may be able to turn a class around. It is by their attitude to class participation, their conscienticiousness, their humour and their seriousness that they may influence their student. It is by their own behavior and enthusiasm that they may inpire.” Dengan kata lain, guru hendaknya menjadi penebar inspirasi dan menjadi oxase di tengah kekeringan semangat belajar para siswanya.
            Secara detail Harmer (1998:10) menerjemahkan secara rinci karakter pembelajar yang baik berikut ini.
1.      Memiliki kemauan untuk mendengar (a willingness to listen). Seorang pembelajar yang baik bukan hanya untuk mendengar pada saat dia sedang senang, namun juga mau mendengar sesuatu realitas yang harus didengarnya.
2.      Memiliki kemauan untuk mencoba (a willingness to exsperiment). Seorang pembelajar harus berani mencoba melakukan aktifitas berbahasa, sekalipun resikonya ia melakukan kesalahan. Namun kesuksesan belajar bahasa tidak ada yang diperoleh secara ekstrover.
3.      Memiliki kemauan untuk bertanya (a willingness to ask questions). Bertanya menjadi ukuran seorang siswa memahami atau tidak materi yang diajarkan, selain dalam konteks pengajaran bahasa memiliki kemampuan berbicara secara baik atau tidak, khususnya dalam mengajukan pertanyaan. Siswa juga harus dapat mengukur apakah masalah yang dia miliki layak ditanyakan atau tidak, serta bagaimana mengajukan pertanyaan yang baik.
4.      Memiliki kemauan untuk berpikir tentang cara belajar (a willingness to think about how to learn). Pembelajaran yang baik memahami bagaimana peta kemampuan dirinya dan bagaimana dia dapat belajar dengan kemampuannya. Peta kemampuan tersebut menjadi ukuran baginya untuk memaksimalkan proses belajar yang dia jalani.
5.      Kemauan untuk melakukan perbaikan (a willingness to accept correction). Pembelajaran yang baik akan menyiapkan diri untuk selalu menerima kritik (koreksi) dari berbagai pihak secara lapang dada dan menjadikannya sebagai feedback bagi kemajuan dirinya.
Karakteristik-karakteristik di atas seharusnya dimiliki oleh pembelajar bahasa apabila ia menghendaki kesuksesan dalam belajar bahasa. Sebaliknya guru harus mendorong para siswa memiliki karakter-karakter pembelajar yang baik sehingga tugas dia dapat berjalan secara baik. Bagaimana pun guru yang baik ( Harmer, 1998:3) adalah “therefor,is that good teachers care more about their students’ learning than they do about their own teaching”.  
Ruang Kreatif Pengajaran Bahasa
Kembali pada pernyataan Putu Wijaya di atas, penting untuk kita pertimbangkan ruang kreatif yang tidak di batasi “etalasi formalitas” yang kadang-kadang tidak menghasilkan sesuatu sesuai dengan pengajaran bahasa. Patut pula kita pertanyakan apakah pembelajaran menulis telah melahirkan para penulis, apakah para sastrawan lahir dari bangku sekolah atau jurusan sastra. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Namun, tentu saja “ruang formal” tidak cukup member bekal kepada para siswa untuk mengembangkan skill yang mereka miliki. Pada kondisi seperti ini ruang-ruang kreatif yang ditemukan para siswa diluar “ruang formal” pendidikan harus dihargai sebagaimana proses belajar yang mereka lakukan disekolah.
Ruang kreatif dalam berbentuk segala aktifitas yang dilakukan para siswa dalam rangka mengembangkan kebahasaan para siswa bentuk ekspresi atau apresisasi yang mereka lakukan sangat ditentukan oleh “pertemuan mereka” dengan jenis “ruang kreatif” tersebut. Di antara mereka ada yang merasakan pentingnya belajar bahasa ketika mengelola majalah dinding dan membaca naskah yang harus disunting untuk kepentingan majalah sekolah. Mungkin mereka merasakan pentingnya penguasaan dialog ketika mereka akan melakukan pementasan drama pada acara perpisahan sekolah. Ruang-ruang kreatif ini akan memberi makna bagi seorang pembelajar bahasa dan memaknai bahasa secara fungsional. Oleh karena itu, setiap orang akan memerlukan sesuatu (bahasa) apabila bahasa memberi manfaat bagi dirinya. Tugas kita berikutnya adalah bagaimana membuat “kejutan makna” agar siswa menyadari dan memhami pentingnya kemampuan bahasa dalam kehidupan mereka saat ini dan kelak.
  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar